Photo: RODERICK ADRIAN MOZES
KOMPAS.com - Memimpikan kehidupan yang lebih baik. Itulah yang membuat Sunarto (59) memboyong keluarganya ke Desa Buatan, Kabupaten Siak, Riau, dengan ikut program transmigrasi pada 1991. Sampai di sana dia bekerja sebagai petani kelapa sawit.
"Tiga tahun pertama adalah masa-masa sulit. Saya diupah Rp 1.500 per hari, dengan perhitungan kerja selama 20 hari maka sebulan saya hanya mendapatkan Rp 30.000. Setelah tiga tahun kerja saya mendapatkan kompensasi lahan kelapa sawit seluas 2 hektar dari pemerintah untuk saya kelola", kata Sunarto, Rabu (17/4/2013).
Lahan seluas dua hektar pun bukan diberikan gratis, karena Sunarto harus melunasi pinjaman sebesar Rp 9,7 juta. Setelah melunasi dalam waktu kurang lebih 5 tahun, Sunarto mulai merasakan manis jerih payahnya dari bertani Sawit.
Krisis moneter 1997 justru menjadi masa-masa indah bagi Sunarto dan puluhan petani sawit. Harga sawit melonjak di kisaran Rp 500-700. Dari situlah dia bisa membeli motor dan membangun rumah.
"Dari dua hektar lahan, saya bisa mendapatkan untung Rp 3 juta per bulannya. Sekarang saya memiliki sekitar 12 hektar lahan kelapa sawit, berati tiap bulannya saya dapat Rp 18 juta," kata Sunarto yang kini menjadi ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Bhirawa Bakti.
Sunarto merupakan salah satu petani kelapa sawit di kebun plasma yang dinaungi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit Asian Agri. Tercatat ada 10.928 hektar kebun plasma kelapa sawit yang dikelola oleh 3.997 petani yang bernaung di 12 KUD.
Untuk tetap menjaga kualitas kelapa sawit petani kebun plasma dibina langsung oleh Asian Agri. Pasokan bibit dan pupuk disediakan. Lalu hasil panen dibeli oleh Asian Agri untuk diolah.
Pada 2005, seluruh KUD di Buatan telah mendapatkan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Untuk mendapatkan sertifikasi ini para petani mendapatkan penyuluhan mengenai standar bertani kelapa sawit yang ramah lingkungan.
"Kalau dulu kita sering membakar batang kering, sekarang dengan adanya RSPO kita tidak membakar lagi. Selain itu menjadi lebih tertib dalam berkebun mulai dari cara pemupukan, penggunaan alat keselamatan cara memanen, semua menggunakan standar RSPO," kata Sunarto.
Sertifikasi ini diakui para petani membuat produktivitas kelapa sawit mereka meningkat dan memudahkan mereka untuk menjual hasil kebunnya ke negara yang menerapkan RSPO sebagai salah satu syarat.
Editor: Tri Wahono
Sumber : http://m.kompas.com/news/read/2013/04/28/17002447/kisah.sunarto..petani.sawit--regional
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar