Hari ini adalah hasil dari rencana kemarin, masa depan adalah rencana hari ini. Tak ada cerita masa lalu tanpa ada sejarah. Tak ada sejarah jika tak ada yang mencatat dan memberi hikmah bagi generasi yang akan datang.

Berjaya Karena Tak Berdaya



Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Dua puluh kali! Jika setiap hari kita mendengarkan azan
dengan sempurna, setidaknya 20 kali kita dituntunkan
menjawab seruan dengan mengucapkan hauqalah (laa
haula wa laa quwwata illa biLlah). Setiap kali muazin
berseru "hayya 'alash shalaah" (mari kita shalat), kita
menjawabnya dengan pernyataan betapa tak berdayanya
kita. Kita berkata, "Laa haula wa laa quwwata illa biLlah.
Tiada daya dan upaya selain semata karena Allah." Dan
bukannya berkata, "InsyaAllah." Atau "Bismillah, pasti
bisa."

Begitu pula tatkala muazin berseru, " Hayya 'alal falaah.
Mari meraih kemenangan." Kita menjawab seruan tersebut
dengan hauqalah pula, "Laa haula wa laa quwwata illa
biLlah." Kita menyatakan diri di hadapan Allah 'Azza wa
Jalla seraya mengakui sepenuhnya betapa tak berdaya diri
kita. Tak ada yang dapat kita lakukan, meski untuk
perkara yang sangat kecil, kecuali semata atas perkenan
dan daya yang Allah Ta'ala limpahkan kepada kita.
MasyaAllah.... Betapa berbeda. Dulu para salafush-shalih
menggemarkan diri mengucapkan hauqalah seraya
menghayati betul tak berdayanya diri. Mereka senantiasa
mengharap pertolongan kepada Allah 'Azza wa Jalla
seraya bersungguh-sungguh menetapi apa-apa yang dapat
menjadi asbab kebaikan. Mereka merasa lemah di
hadapan Allah Ta'ala, senantiasa menghimpun rasa takut
dan sekaligus harap yang amat kuat kepada Allah
subhanahu wa ta'ala . Mereka menajamkan tawakkalnya
kepada Allah Ta'ala. Betul-betul bersandar kepada Allah
Ta'ala dalam segala urusan. Bukan bersandar pada cara-
cara berdo'a sehingga terjatuh pada zhan (persangkaan,
keyakinan) yang buruk bahwa terkabulnya do'a dan
terwujudnya keinginan bergantung pada cara. Sepintas
mungkin tampak sama, tapi amat jauh bedanya. Yang
pertama menjadikan kita semakin berharap hanya kepada
Allah Ta'ala dan menambah rasa takut kita kepada-Nya,
mengkhawatiri banyaknya salah kepada-Nya. Sedangkan
yang kedua, kerapkali justru menjatuhkan kita pada ghurur
(terkelabuhi). Salah satunya merasa amal sangat baik
sehingga layak bagi Allah Ta'ala untuk mengabulkan do'a
kita. Kita terjatuh pada persangkaan bahwa baiknya amal
kita itulah penyebab Allah Ta'ala perkenan do'a kita.
Sementara generasi salafush-shalih justru sering dihimpit
rasa khawatir kalau-kalau do'a mereka tertolak oleh
rusaknya niat, kurangnya kesungguhan dan berbagai
kekhawatiran lain; kekhawatiran yang menjadikan mereka
lebih bersungguh-sungguh berbenah dan menyandarkan
diri hanya kepada Allah Ta'ala semata.
Berkenaan dengan keutamaan hauqalah, mari kita renungi
sejenak hadis riwayat Al-Bukhari. Rasulullah shallaLlahu
'alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada 'Abdullah
bin Qais radhiyallahu 'anhu :
ﻳَﺎ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦَ ﻗَﻴْﺲٍ ﻗُﻞْ ﻻَ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻻَ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ . ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻛَﻨْﺰٌ
ﻣِﻦْ ﻛُﻨُﻮﺯِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
" Wahai 'Abdullah bin Qais, katakanlah 'laa haula wa laa
quwwata illa biLlah', karena ia merupakan simpanan
pahala berharga di surga " (HR. Bukhari).
Inilah ucapan yang amat tinggi nilainya. Ia menjadi
simpanan pahala berharga di surga. Inilah ucapan yang
menjadikan generasi salafush-shalih senantiasa
bersungguh-sungguh menguatkan keyakinan kepada Allah
Ta'ala, pengharapan hanya kepada-Nya serta percaya
bahwa tak ada madharat sekecil apa pun yang akan
menimpa mereka jika Allah 'Azza wa Jalla tak
mengizinkan. Pun, tak ada kebaikan sekecil apa pun yang
sanggup mereka raih, tidak pula amal shalih dapat
dikerjakan secara ikhlas, kecuali semata karena perkenan
Allah subhanahu wa ta'ala .
Mereka bersibuk membangun percaya Allah Ta'ala dan
mengikis percaya diri. Mereka menjauhkan diri dari
memastikan suatu perkara akan terjadi, kecuali apa yang
Allah Ta'ala telah pastikan dalam nash yang shahih bahwa
itu pasti akan terjadi. Mereka inilah yang melazimkan diri
mengucapkan "insyaAllah" ketika mereka sangat
bersungguh-sungguh untuk memenuhi janji. Ucapan
"insyaAllah" menjadi janji yang mereka justru amat besar
rasa takutnya untuk meremehkan, sebab pada kata
"insyaAllah" ada janji kepada manusia sekaligus janji
kepada Allah Ta'ala. Sungguh, amat berbeda dengan yang
kita dengar pada banyak manusia di sekeliling kita
belakangan ini yang menjadikan kata "insyaAllah" sebagai
pengganti kata mungkin, bahkan untuk menunjukkan
kemungkinan besar kita tak penuhi janji.
Astaghfirullahal 'adzim .
Bersebab menyadari betapa tak berdayanya diri di hadapan
Allah 'Azza wa Jalla, maka mereka senantiasa berdo'a
memohon petunjuk dan kekuatan. Tidaklah kita mampu
bertauhid dengan benar, kecuali semata karena
pertolongan Allah 'Azza wa Jalla. Tidak pula kita dapat
menjauhkan dari keburukan, kecuali karena pertolongan
Allah subhanahu wa ta'ala.
Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata, "Tidak ada daya
untuk menghindarkan diri dari maksiat selain dengan
perlindungan dari Allah. Tidak ada kekuatan untuk
melaksanakan ketaatan selain dengan pertolongan Allah."
Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita sedang menuju
kemuliaan yang sama? Ataukah kita sedang belajar
menepuk dada dan mengajarkan hal yang sama kepada
anak-anak kita? Jika Imam Nawawi rahimahullah menolak
digelari "muhyiddin (penghidup agama)" , maka hari ini kita
saksikan betapa banyak manusia yang memberi gelar luar
biasa untuk diri sendiri. Di antara mereka, sebagiannya
bahkan mengaku ustadz.
Pelajaran apakah yang kita ambil? Hari ini, di negeri ini,
kita menjadi mayoritas tak berdaya.
Berjaya karena Tak Berdaya
Jika kita merenungi kalimat hauqalah (laa haula wa laa
quwwata illa biLlah), maka sepatutnya kita menyadari
betapa lemah diri ini. Kita tak punya kuasa, bahkan untuk
melaksanakan kebaikan yang paling sederhana. Tetapi kita
tidak merasa lemah, sebab kita yakin Allah Ta'ala Yang
Maha Perkasa amat dekat pertolongan-Nya.
Sepintas sama, tapi sangat berbeda kedua. Menyadari
lemahnya diri menjadikan kita tak jumawah; tidak pongah
karena merasa lebih hebat dibanding sesama. Tetapi kita
pun tak gemetar melihat orang yang menampakkan
kebesarannya karena sesungguhnya Allah Ta'ala Maha
Lebih Besar. Kita tidak takut bukan karena yakin diri kita
kuat, tapi justru karena yakin sebesar apa pun kekuatan
yang menghadang kita, Allah Ta'ala Maha Lebih Kuat.
Adapun merasa diri lemah menjadi kita minder, tak punya
keberanian mengatasi masalah hanya karena menghadapi
kesulitan yang tak seberapa. Lidah kita keluh, kepala tak
bisa tegak hanya karena berhadapan dengan orang yang
berpenampilan sedikit wah.
Sungguh, tak akan pernah lagi kita jumpai generasi yang
berani menghadap para kaisar yang namanya
menggetarkan tanpa tunduk wajahnya, meski kusut
rambutnya. Tak akan pernah lagi kita jumpai generasi
yang berdebu pakaiannya, tetapi tegap langkahnya
menghadapi para penguasa. Tak gemetar kakinya, tak
tumpul pikirannya, tak keluh lidahnya. Tak akan pernah
lagi kita jumpai generasi seperti itu kecuali jika kita
tumbuhkan dalam diri mereka pengakuan dan kesadaran
betapa tak berdayanya diri di hadapan Allah 'Azza wa
Jalla . Laa haula wal laa quwwata illa biLlah. Tak akan
pernah lahir generasi yang mantap langkahnya meski tak
mengenakan jas beserta dasi yang melilit leher, kecuali
jika anak-anak itu kuat imannya dan lurus aqidahnya.
Semoga Allah Ta'ala perkenankan anak-anak kita sebagai
generasi yang meninggikan kalimat Allah Ta'ala di muka
bumi. Mereka mengagungkan apa pun yang Allah Ta'ala
titahkan, sehingga senantiasa bersungguh-sungguh
melakukan apa pun yang dapat mengantarkan mereka
pada kebaikan. Semoga Allah Ta'ala menjadikan mereka
sebagai generasi yang senantiasa menetapi perintah Nabi
shallaLlahu 'alaihi wa sallam:
ﺍﺣْﺮِﺹْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻳَﻨْﻔَﻌُﻚَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻌِﻦْ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﻻ ﺗَﻌْﺠِﺰَﻥَّ , ﻭَﺇِﻥْ
ﺃَﺻَﺎﺑَﻚَ ﺷَﻲْﺀٌ ﻓَﻼ ﺗَﻘُﻞْ : ﻟَﻮْ ﺃَﻧِّﻲ ﻓَﻌَﻠْﺖُ ﻛَﺬَﺍ ﻟَﻜَﺎﻥَ ﻛَﺬَﺍ ﻭَ ﻛَﺬَﺍ ,
ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻗُﻞْ : ﻗَﺪَﺭُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﻓَﻌَﻞَ , ﻓَﺈِﻥَّ ﻟَﻮْ ﺗَﻔْﺘَﺢُ ﻋَﻤَﻞَ
ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ
" Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat
bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam
segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap
lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka
janganlah kamu mengatakan, 'seandainya aku berbuat
demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu'. Tetapi
katakanlah, 'ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah
berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki'. Karena
sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka
(pintu) perbuatan setan". (HR. Muslim).
Telah berlalu berbagai generasi sebelum kita. Ada
pelajaran besar yang harus kita renungkan. Telah berlalu
masa-masa kejayaan Islam. Telah berlalu pula zaman
yang disebut keemasan, tetapi sesungguhnya ini
merupakan titik balik yang mengantarkan kita pada
keruntuhan demi keruntuhan. Generasi terbaik itu adalah
para salafush-shalih yang lebih ringan berkata "saya tidak
tahu" daripada bersibuk mengesankan diri tahu. Generasi
terbaik itu adalah mereka yang bersibuk membangun
kepercayaan kepada Allah 'Azza wa Jalla seraya berserah
diri kepada-Nya. Bukan generasi yang bersibuk menepuk
dada dan membangun percaya diri karena merasa hebat
luar biasa. Generasi terbaik itu berjaya karena merasa tak
berdaya.
Bagaimana dengan kita? Bagaimana pula kita menyiapkan
anak-anak kita?
Astaghfirullah.... Semoga Allah Ta'ala mengampuni kita
dan membaguskan kita beserta anak-anak kita.
*** Tulisan ini dimuat di majalah KARIMA, majalah
Hidayatullah edisi khusus tentang parenting. Tulisan ini
sebenarnya belum selesai. Saya berharap dapat
menyelesaikannya dan memuat di facebook dengan cara
editing notes atau menampilkan sebagai tulisan baru
dengan mencantumkan keterangan tentang tulisan
tersebut.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jadwal Sholat

Popular Posts

Label

Arsip Blog

Recent Posts

Pages

Blog Archive

Categories